2. 1. 2 Konstruktivisme
Konstruktivisme merupakan salah satu aliran filsafat
pengetahuan yang menekankan bahwa pengetahuan kita merupakan hasil konstruksi
(bentukan) kita sendiri
(Von Glaserfeld dalam Bettencourt, 1989) dan Metthews
dalam Pannen, Mustafa, dan Sekarwinahyu (2001).
Secara sederhana konstruktivisme itu beranggapan bahwa pengetahuan
seseorang itu merupakan hasil konstruksi individu itu sendiri. Pengetahuan itu bukanlah suatu fakta yang tinggal
ditemukan, melainkan suatu perumusan yang diciptakan orang yang sedang mempelajarinya. Jadi seseorang yang sedang belajar itu
membentuk pengertian.
Menurut Glasersfeld (1989) dalam Pannen, Mustafa, dan
Sekarwinahyu (2001), agar siswa mampu mengkonstruksi pengetahuan, maka
diperlukan:
1. Kemampuan
siswa untuk mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman. Kemampuan untuk mengingat dan mengungkapkan
kembali pengalaman sangat penting karena pengetahuan dibentuk berdasarkan
interaksi individu siswa dengan pengalaman-pengalaman tersebut.
2. Kemampuan
siswa untuk membandingkan, dan mengambil keputusan mengenai persamaan dan
perbedaan suatu hal. Kemampuan
memban-dingkan sangat penting agar siswa mampu menarik sifat yang lebih umum
dari pengalaman-pengalaman khusus serta melihat kesamaan dan perbedaannya untuk
selanjutnya membuat klasifikasi dan mengkonstruksi pengetahuannya.
3. Kemampuan
siswa untuk lebih menyukai pengalaman yang satu dari yang lain (selective
conscience). Melalui “suka dan tidak
suka” inilah muncul penilaian siswa terhadap pengalaman, dan menjadi landasan
bagi pembentukan pengetahuannya.
Konstrutivisme
menekankan bahwa pengetahuan seorang siswa merupakan hasil konstruksi siswa itu
sendiri setelah melewati berbagai pengalaman.
Siswa harus mampu membentuk pengalaman-pengalaman tersebut menjadi
struktur konsep pengetahuan dengan baik melalui proses abstraksi. Kemampuan yang harus dimiliki tersebut adalah
kemampuan mengingat, mengungkapkan kembali, membandingkan, memilih, dan mengambil
keputusan mengenai berbagai pengalamannya.
Prinsip-prinsip konstruktivisme menurut Suparno (1997),
antara lain:
(1) Pengetahuan dibangun oleh siswa secara aktif
(2) Tekanan dalam proses belajar terletak pada siswa
(3) Mengajar adalah membantu siswa belajar
(4) Tekanan dalam proses belajar lebih pada proses bukan
pada hasil akhir
(5) Kurikulum menekankan partisipasi siswa
dan
(6) Guru adalah fasilitator.
Bagi
kaum konstruktivis, kegiatan belajar adalah proses aktif siswa untuk menemukan
sesuatu dan membagun sendiri pengetahuannya.
Siswa yang membuat penalaran atas apa yang dipelajari dengan apa yang
telah diketahui. Pengetahuan dan
pengertian tersebut dikonstruksi siswa bila siswa terlibat secara sosial dalam
dialog dan aktif dalam percobaan.
Seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang membantu
proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Guru perlu menciptakan suasana yang membuat siswa antusias di dalam
pembelajaran dan juga berperan dalam membantu siswa agar mampu mengkonstruksi
pengetahuannya
2. 1. 3 Lembar Kerja
Siswa (LKS)
LKS merupakan lembaran-lembaran yang berisi materi
pelajaran, tujuan percobaan, alat dan bahan, petunuk praktikum, hasil
pengamatan, serta diskusi berupa pertanyaan-pertanyaan yang disusun secara
kronologis untuk memudahkan siswa dalam membangun konsep. LKS ini digunakan sebagai salah satu media
pembelajran yang dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif untuk mengajak
siswa mengkonsruksi konsep. Penggunaan
LKS dalam pembelajaran akan memudahkan guru untuk menyampaikan materi pelajaran
dan mengefisienkan waktu, serta akan menimbulkan interaksi antara guru dengan
siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Sriyono (1992) (dalam Hersiana 2006), LKS
merupakan salah satu bentuk program yang berlandaskan atas tugas yang harus
diselesaikan dan berfungsi sebagai alat untuk mengalihkan pengetahuan dan
keterampilan sehingga mampu mempercepat tumbuhnya minat siswa dalam mengikuti
proses pembelajaran.
Menurut Sudjana dalam Djamarah
dan Zain (2000), fungsi LKS adalah:
a)
Sebagai alat
bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektif.
b)
Sebagai alat
bantu untuk melengkapi proses belajar mengajar supaya lebih menarik perhatian
siswa.
c)
Untuk
mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap
pengertia yang diberikan guru.
d)
Siswa lebih
banyak melakukan kagiatan belajar sebab tidak hanya mendengarkan uraian guru
tetapi lebih aktif dalam pembelajaran.
e)
Menumbuhkan
pemikiran yang teratur dan berkesinambungan pada siswa.
f)
Untuk mempertinggi
mutu belajar mengajar, karena hasil belajar yang dicapai siswa akan tahan lama
sehingga pelajaran mempunyai nilai tinggi.
Manfaat dan tujuan LKS, mnurut Prianto dan Harnoko
(1997):
a)
Mengefektifkan
siswa dalam proses belajar mengajar.
b)
Membantu siswa
dalam mengembangkan konsep.
c)
Melatih siswa
untuk menemukan dan mengembangan proses belajar mengajar.
d)
Sebagai
pedoman bagi guru dan siswa dalam melaksanakan proses pembelajaran.
e)
Membantu guru
dalam menyusun pelajaran.
Pada proses pembelajaran, LKS digunakan sebagai sarana
pembelajaran untuk menuntun siswa dari suatu materi pokok atau sub materi pokok
yang telah atau sedang disajikan.
Melalui LKS siswa dituntut mengemukakan pendapat dan mampu mengambil
kesimpulan. Dalam hal ini LKS merupakan
salah satu media pembelajaran yang digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa
dalam prosses pembelajaran. LKS yang
digunakan untuk meningkatkan keaktifan siswa dalam proses pembelajaran adalah
LKS eksperimen dan LKS noneksperimen.
1.
LKS Eksperimen
LKS eksperimen
adalah LKS yang berisi tujuan percobaan, alat, bahan, langkah kerja,
pernyataan, hasil pengamatan, pertanyaan-pertanyaan, dan kesimpulan ahir dari
percobaan yang dilakukan pada materi pokok yang bersangkutan (Depdikbud, 1992).
LKS eksperimen yang digunakan pada pembelajaran kelarutan dan hasil kali
kelarutan ini disusun secara kronologis yang dapat membantu siswa dalam
memperoleh konsep pengetahuan yang dibangun melalui pengalaman belajar mereka
sendiri.
2.
LKS Noneksperimen
Dalam materi
kelarutan dan hasil kali kelarutan seperti submateri hubungan kelarutan dan
hasil kali kelarutan, tidak memungkinkan untuk dilakukan eksperimen karena
indikator yang akan dicapai hanya menghitung kelarutan suatu elektrolit yang
sukar larut bedasarkan data harga Ksp atau sebaliknya. Oleh karena itu, untuk memudahkan siswa
memahami hubungan kelarutan dan hasil kali kelarutan tersebut dapat digunakan
media berupa LKS noneksperimen. LKS
noneksperimen dirancang sebagai media teks terprogram yang menghubungkan antara
hasil percobaan yang telah dilakukan dengan konsep yang harus dipahami. Siswa dapat menemukan konsep pembelajaran
berdasarkan hasil percobaan dan soal-soal yang dituliskan dalam LKS
noneksperimen tersebut.
Dalam
penelitian ini pembelajaran konstruktivisme menggunakan eksperimen disertai LKS
dengan petunjuk praktikum mencakup semua bagian yang telah disebutkan di atas.
Jadi LKS eksperimen merupakan LKS fakta, pengkajian dan pemantapan atau
kesimpulan.
2. 1. 4 Metode
Eksperimen
Metode adalah suatu cara yang diperlukan untuk
mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Dalam kegiatan belajar mengajar, metode
mengajar diperlukan oleh guru dan penggunaannya bervariasi sesuai dengan tujuan
yang ingin dicapai setelah pembelajaran
berakhir.
Dalam proses pembelajaran, guru tidak harus
terpaku dengan menggunakan satu metode. Guru sebaiknya menggunakan pembelajaran
yang bervariasi agar jalannya proses belajar mengajar tidak membosankan, tetapi
menarik perhatian anak didik. Dalam
pembelajaran, guru yang hanya menggunakan satu metode mengajar biasanya sukar
menciptakan suasana kelas yang kondusif dalam waktu yang relatif lama.
(Djamarah dan Zain, 2000)
Metode eksperimen adalah cara penyajian
pelajaran dimana siswa melakukan percobaan dengan mengalami dan membuktikan sendiri
sesuatu yang dipelajari. Dalam proses
pembelajaran dengan metode ini, siswa diberi kesempatan untuk mengalami sendiri
atau melakukan sendiri, mengikuti suatu proses, mengamati suatu objek,
menganalisis, membuktikan dan menarik kesimpulan. (Roestiyah,2001)
Dalam mempelajari IPA khususnya kimia perlu ditunjang
dengan metode eksperimen yaitu dalam bentuk praktikum. Beberapa pendapat mengenai praktikum
dikemukakan oleh:
Slameto (2003) menyatakan bahwa metode
praktikum adalah “cara penyampaian bahan pelajaran dalam memberikan kesempatan
berlatih kepada siswa untuk meningkatkan keterampilan sebagai penerapan bahan
atau pengetahuan yang telah mereka pelajari sebelumnya untuk mencapai tujuan
pengajaran”.
Mulyati (1995) menyatakan bahwa “kegiatan
praktikum di jurusan kimia merupakan salah satu kegiatan pokok dalam pengajaran
kimia, bertujuan untuk meningkatkan kemampuan siswa dalam segi pengetahuan,
sikap, dan keterampilan”.
Roestiyah (2001) mengemukakan bahwa metode
ekseprimen adalah ”salah satu metode mengajar, dimana siswa melakukan percobaan
tentang suatu hal, mengamati prosesnya, serta menuliskan hasil percobaannya
kemudian hasil percobaan itu disampaikan didepa kelas dan dievaluasi oleh
guru”.
Pendapat di atas menyatakan bahwa kegiatan
praktikum atau eksperimen dalam pelajaran kimia khususnya, mempunyai peranan
penting untuk mencapai keberhasilan proses belajar siswa. Jadi, penggunaan metode eksperimen dalam
pengajaran bukan sekedar untuk mengecek atau mencocokkan kebenaran teori yang
telah diajarkan di kelas tetapi juga mengembangkan proses berfikir siswa. Dengan metode eksperimen siswa dapat berlatih
berfikir ilmiah, kreatif dan bertanggung jawab, serta secara praktis siswa
memperoleh pengalaman, keterampilan, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan.
Menurut Roestiyah (2001) agar penggunaan
metode eksperimen dapat efisien dan efektif, maka pelaksanaannya perlu
memperhatikan hal-hal berikut:
1. Dalam eksperimen setiap siswa mampu
melaksanakan percobaan,maka jumlah alat dan bahan atau materi pelajaran harus
cukup untuk bagi tiap siswa.
2. Agar eksperimen itu tidak gagal, siswa
menemuka bukti yang meyakinkan mungkin hasilnya tidak membahayakan, maka
kondisi alat dan bahan percobaan harus baik dan bersih.
3. Dalam eksperimen, siswa perlu teliti dan
konsentrasi dalam mengamati proses percobaan maka perlu adanya waktu yang cukup
lama.
4. Siswa dalam eksperimen adalah belajar dan
berlatih, maka perlu diberi petunjuk yang jelas.
5. Perlu dimengerti juga bahwa tidak semua
masalah bisa dieksperimenkan.
Kelebihan-kelebihan metode eksperimen menurut
Roestiyah (2001) adalah:
1. Dengan eksperimen siswa terlatih menggunakan
metode ilmiah menghadapi segala masalah, sehingga tidak mudah percaya terhadap
sesuatu yang belum pasti kebenarannya dan tidak mudah percaya pada kata orang
sebelum ia membuktikan kebenarannya.
2. Mereka lebih aktif berfikir dan berbuat,dan
hal itu sangat dikehendaki oleh kegiatan belajar mengajar yang modern, siswa
lebih aktif sendiri dengan bimbingan guru.
3. Dengan eksperimen siswa membuktikan sendiri
kebenaran suatu teori.
Melihat kelebihan-kelebihan metode eksperimen
menurut pendapat diatas, maka penerapan metode eksperimen yang berhasil akan
mendorong tercapainya tujuan pembelajaran IPA khususnya kimia, salah satunya
adalah mampu menggunakan metode ilmiah dan bersikap ilmiah dalam memecahkan
permasalahan yang ada dengan teori belajar khususnya kimia.
Metode eksperimen seperti metode yang lain
juga memiliki kelemahan. Kelemahan
metode eksperimen menurut Djamarah, dan Zain (2000) adalah:
1. Metode ini lebih sesuai dengan bidang-bidang
sains dan teknologi.
2. Metode ini memerlukan berbagai fasilitas
peralatan yang tidak selalu mudah diperoleh dan mahal
3. Tidak setiap percobaan memberikan hasil yang
diharapkan, karena mungkin ada faktor-faktor tertentu yang berada diluar
jangkauan kemempuan dan pengendalian.
4. Metode ini menuntut penelitian, keuletan dan
ketabahan.
Menurut Roestiyah (2001) agar eksperimen dapat
berjalan dengan baik dalam pembelajarannya maka perlu memperhatikan prosedur
sebagai berikut:
1. Perlu ditegaskan kepada siswa tujuan
eksperimen, maka harus memahami masalah yang akan dibuktikan melului
eksperimen.
2. Kepada siswa perlu diterangkan pula tentang:
a) Alat serta bahan yang digunakan dalam
percobaan.
b) Agar tidak mengalami kegagalan siswa perlu
mengetahui variabel-variabel yang harus dikontrol dengan ketat.
c) Urutan yang akan ditempuh sewaktu eksperimen
berlangsung.
d) Perlu menetapkan bentuk catatan atau berupa
laporan berupa uraian, perhitungan , grafik dan sebagainya.
3. Selama Eksperimen berlangsung, guru mengawasi
pekerjaan siswa. Bila perlu memberi saran atau pertanyaan yang menunjang
kesempurnaan jalannya eksperimen.
4. Setelah eksperimen selesai, guru harus
membimbing siswa dalam menyimpulkan hasil eksperimen kemudian dilakukan tes
atau tanya jawab.
Berdasarkan uraian di atas, guru yang berperan
sebagai penyedia pengalaman belajar ketika akan menggunakan metode eksperimen
harus memperhatikan prosedur-prosedur di atas.
Hal ini merupakan solusi untuk megatasi kelemahan metode eksperimen
dalam pembelajaran. Jadi, penggunaan
metode eksperimen sebagai alternatif strategi pembelajaran dapat membantu siswa
untuk mendapatkan pengalaman belajar sesuai dengan karakteristik materi
pelajaran kimia, sehingga dapat mencapai tujuan pembelajaran yang lebih efektif
dan efisien.
2. 1. 5 Penguasaan Konsep
Konsep merupakan salah satu pengetahuan awal yang harus
dimiliki siswa karena konsep merupakan dasar dalam merumuskan prinsip-prinsip. Penguasaan konsep yang baik akan membantu
pemakaian konsep-konsep yang lebih kompleks. Penguasaan konsep adalah kemampuan
siswa menguasai materi pelajaran yang diberikan. Penguasaan konsep merupakan dasar dari
penguasaan prinsip-prinsip teori, artinya untuk dapat menguasai prinsip dan
teori harus dikuasai terlebih dahulu konsep-konsep yang menyusun prinsip dan
teori yang bersangkutan. Untuk
mengetahui sejauh mana penguasaan konsep dan keberhasilan siswa, maka diperlukan
tes yang akan dinyatakan dalam bentuk angka atau nilai tertentu. Penguasaan konsep juga merupakan suatu upaya
ke arah pemahaman siswa untuk memahami hal-hal lain di luar pengetahuan
sebelumnya. Jadi, siswa di tuntut untuk
menguasai materi-materi pelajaran selanjutnya.
Menurut Dahar (1998 : 96) konsep adalah suatu abstraksi
yang memiliki suatu kelas objek-objek, kejadian-kejadian, kegiatan-kegiatan,
hubungan-hubungan yang mempuyai atribut yang sama. Setiap konsep tidak berdiri sendiri melainkan
berhubungan satu sama lain, oleh karena itu siswa dituntut tidak hanya
menghafal konsep saja, tetapi hendaknya memperhatikan hubungan antara satu
konsep dengan konsep yang lainnya.
Piaget dalam Dimyati dan Madjiono (2002 : 13) menyatakan
bahwa pengetahuan dibentuk oleh individu.
Individu melakukan interaksi terus-menerus dengan lingkungan. Lingkungan tersebut mengalami perubahan. Dengan adanya interaksi dengan lingkungan
maka fungsi intelek semakin berkembang.
Belajar pengetahuan meliputi tiga fase, fase-fase itu
adalah fase eksplorasi, pe-ngenalan konsep, dan aplikasi konsep. Dalam fase pengenalan konsep, siswa mengenal
konsep yang ada hubungannya dengan gejala.
Dalam fase aplikasi konsep, siswa menggunakan konsep untuk meneliti
gejala lebih lanjut.
Posner dalam Suparno (1997 : 50) menyatakan bahwa dalam
proses belajar terdapat dua tahap perubahan konsep yaitu tahap asimilasi dan
akomodasi. Pada tahap asimilasi, siswa
menggunakan konsep-konsep yang telah mereka miliki untuk berhadapan dengan
fenomena yang baru. Pada tahap
akomodasi, siswa mengubah konsepnya yang tidak cocok lagi dengan fenomena baru
yang mereka hadapi.
2. 1. 6 Kerangka Pemikiran
Penguasaan
materi pokok yang dicapai siswa sangat berkaitan dengan kegiatan pembelajaran
yang diberikan oleh seorang guru sebagai pengalaman belajar. Perencanaan yang
baik sebelum melakukan kegiatan pembelajaran akan berpengaruh terhadap
penguasaan materi pokok siswa.
Pembelajaran
konstruktivisme melalui eksperimen disertai LKS merupakan pembelajaran yang
menggunakan LKS yang berisi prosedur percobaan, soal-soal latihan, dan langkah-langkah
penemuan konsep yang disusun secara kronologis. Pada proses pembelajaran siswa
mencari fakta melalui eksperimen dengan tuntunan LKS, setelah memperoleh fakta
siswa dituntun untuk mengkaji dan menggali pengertian untuk mengkonstruksi
pengetahuannya. Pada pembelajaran ini siswa
lebih aktif dan mudah untuk mengkonstruksi pengetahuannya, sehingga
diharapkan penguasaan konsep materi pokok dapat tercapai dengan maksimal dengan
hasil belajar yang tinggi.
Pembelajaran
konstruktivisme melalui petunjuk praktikum merupakan pembelajaran yang
menggunakan eksperimen tanpa adanya langkah-langkah penemuan konsep yang
disusun secara kronologis yang dapat menuntun siswa untuk menemukan konsep.
Dalam pembelajaran ini siswa melakukan serangkaian eksperimen di laboratorium
untuk mencari fakta setelah mendapatkan fakta dari hasil percobaan. Siswa
mengkaji dan menggali pengertian untuk
mendapatkan kesimpulan akhir tanpa adanya tuntunan LKS, akibatnya siswa lebih
sulit untuk mengkonstruksi pengetahuannya dan kurang aktif karena tidak adanya
langkah-langkah yang disusun secara kronologis, sehingga penguasaan materi
pokok dan hasil belajar siswa lebih rendah.
Berdasarkan
hal tersebut diduga rata-rata penguasaan materi pokok kelarutan dan hasil kali
kelarutan pada siswa yang diberi pembelajaran konstruktivisme melalui
eksperimen disertai LKS lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata penguasaan
materi pokok kelarutan dan hasil kali kelarutan pada siswa yang diberi
pembelajaran konstruktivisme melalui petunjuk praktikum.
0 Komentar